GONG XI FA CAI
Sahabat kreatif,
Hari ini udah tanggal
19 februari. Ada spesial gak di tanggal ini??? Kalau di kalender yang ada di
rumah kamu-kamu, pastinya tanggal 19 hari ini merupakan tanggal merah. Itu
berarti hari ini merupakan hari libur nasional.
Nahh,,,
Sahabat keratif,,, hari
ini seluruh warga tionghoa merayakan hari raya Imlek atau perayaan tahun baru
china. Gimana pendapat kamu tentang perayaan ini??? Share disini yachhh
Sahabat kreatif,,,,
Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai
di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas tepatnya pada
saat bulan purnama. Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti
"malam pergantian tahun".
Di
Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru
Imlek sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti
perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan kembang api.
Sahabat
kreatif,,,
Sejarah
Sebelum
Dinasti Qin, tanggal perayaan permulaan sesuatu
tahun masih belum jelas. Ada kemungkinan bahwa awal tahun bermula pada bulan 1
semasa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou di China. Bulan kabisat yang dipakai
untuk memastikan kalendar Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari,
selalu ditambah setelah bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tulang
ramalan) dan Zhou (menurut Sima Qian). Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun
tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal
tahun sampai sekarang. Tahun pertama Tahun Baru Imlek/Yinli dihitung
berdasarkan tahun pertama kelahiran Kongfuzi (Confucius), hal ini dilakukan
oleh Kaisar Han Wudi sebagai penghormatan kepada Kongfuzi yang telah
mencanangkan agar menggunakan sistem penanggalan Dinasti Xia dimana Tahun Baru
dimulai pada tanggal 1 bulan kesatu. Oleh sebab itu sistem penanggalan ini
dikenal pula dengan Kongzili.
Mitos
Menurut
legenda, dahulu kala, Nián adalah seekor raksasa pemakan
manusia dari pegunungan (atau dalam ragam hikayat lain, dari bawah laut), yang
muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan bahkan
penduduk desa. Untuk melindungi diri merka, para penduduk menaruh makanan di
depan pintu mereka pada awal tahun. DIpercaya bahwa melakukan hal itu Nian akan
memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau
mencuri ternak dan hasil Panen. Pada suatu waktu, penduduk melihat bahwa Nian
lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan
pakaian berwarna merah. Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna
merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan
menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Mereka
juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Adat-adat pengurisan Nian ini
kemudian berkembang menjadi perayaan Tahun Baru. Guò nián (Hanzi tradisional: 過年;
bahasa
Tionghoa: 过年), yang berarti
"menyambut tahun baru", secara harafiah berarti "mengusir
Nian".[1][2]
Sejak
saat itu, Nian tidak pernah datang kembali ke desa. Nian pada akhirnya
ditangkap oleh 鸿钧老祖 atau 鸿钧天尊Hongjun
Laozu, seorang
Pendeta Tao dan Nian kemudian menjadi kendaraan Honjun Laozu.
Tahun
Baru Imlek di Indonesia
Sejarah Tahun
Baru Imlek di Indonesia
Di
Indonesia, selama tahun 1968-1999,
perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi
Presiden Nomor 14 Tahun 1967,
rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau
Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat
keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun
baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967.
Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001
yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka
yang merayakannya). Baru pada tahun 2002,
Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri mulai
tahun 2003.
Pada
tahun 1946, ketika Republik Indonesia baru berdiri, Presiden Soekarno
mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang hari-hari raya umat beragama
No.2/OEM-1946 yang pada pasal 4 nya ditetapkan 4 hari raya orang Tionghoa yaitu
Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu ( tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng
Beng dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek). Dengan demikian
secara tegas dapat dinyatakan bahwa Hari Raya Tahun Baru Imlek Kongzili
merupakan hari raya Agama Tionghoa.
Orang
Tionghoa yang pertama kali mengusulkan larangan total untuk merayakan Imlek,
adat istiadat, dan budaya Tionghoa di Indonesia kepada Presiden Soeharto
sekitar tahun 1966-1967 adalah Kristoforus
Sindhunata alias Ong
Tjong Hay. Namun, Presiden Soeharto merasa usulan tersebut terlalu berlebihan,
dan tetap mengijinkan perayaan Imlek, adat istiadat, dan budaya tionghoa namun
diselengarakan hanya di rumah keluarga tionghoa dan di tempat yang tertutup,
hal inilah yang mendasari diterbikannya Inpres No. 14/1967.
Pada
6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No.14/1967
tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi
tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat
Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan
tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan
bertahap atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa
termasuk Kepercayaan, Agama dan Adat Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres
tersebut, seluruh Perayaan Tradisi dan Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk Tahun
Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara
terbuka. Demikian juga tarian Barongsai dan Liong dilarang dipertunjukkan.
Tahun
itu pula dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967
dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang
isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan yang masih menggunakan tiga nama untuk
menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi. Hal ini didukung
pula oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB).
LPKB
menganjurkan keturunan Tionghoa, antara lain, agar :
-
Mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa.
-
Menikah dengan orang Indonesia pribumi asli.
-
Menanggalkan dan menghilangkan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa,
termasuk bahasa maupun semua kebiasaan dan kebudayaan Tionghoa dalam kehidupan
sehari-hari, termasuk larangan untuk perayaan tahun baru imlek.
Badan
Koordinasi Masalah Cina (BKMC). BKMC berada di bawah BAKIN yang menerbitkan tak
kurang dari 3 jilid buku masing-masing setebal 500 halaman, yaitu "Pedoman
Penyelesaian Masalah Cina" jilid 1 sampai 3. Dalam hal ini, pemerintahan
Soeharto dengan dengan tegas menganggap keturunan Cina dan kebiasaan serta
kebudayaan Cina, termasuk agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa sebagai
"masalah" yang merongrong negara dan harus diselesaikan secara
tuntas.
Kemudian
dengan diterbitkannya SE Mendagri No.477 / 74054 tahun 1978 tertanggal 18
Nopember 1978 tentang pembatasan kegiatan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat
Cina, yang berisi antara lain, bahwa pemerintah menolak untuk mencatat
perkawinan bagi yang Beragama Khonghucu dan penolakan pencantuman Khonghucu
dalam kolom Agama di KTP, yang di dukung dengan adanya kondisi sejak tahun
1965-an atas penutupan dan larangan beroperasinya sekolah-sekolah Tionghoa, hal
ini menyebabkan terjadi eksodus dan migrasi identitas diri sebagian besar
orang-orang Tionghoa ke dalam Agama Kristen sekte Protestan, dan sekte Katolik,
Buddha bahkan ke Islam. Demikian juga seluruh perayaan ritual kepercayaaan,
agama dan adat istiadat Tionghoa termasuk perayaan Tahun Baru baru Imlek
menjadi surut dan pudar.
Surat
dari Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag No H/BA.00/29/1/1993 menyatakan
larangan merayakan Imlek di Vihara dan Cetya. Kemudian Perwakilan Umat Buddha
Indonesia (WALUBI) mengeluarkan Surat Edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93, tertanggal
11 Januari 1993 yang menyatakan bahwa Imlek bukanlah merupakan hari raya agama
Buddha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dengan
menggotong Toapekong, dan acara Barongsai.
Pada
tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres
No.6/2000 tentang pencabutan Inpres N0.14/1967 tentang pembatasan Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut,
masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan
adat istiadatnya termasuk merayakan Upacara-upacara Agama seperti Imlek, Cap Go
Meh dan sebagainya secara terbuka.
Pada
Imlek 2551 Kongzili pada tahun 2000 Masehi, Majelis Tinggi Agama Konghucu
Indonesia (MATAKIN) mengambil inisiatif untuk merayakan Imlek secara terbuka
sebagai puncak Ritual Agama Khonghucu secara Nasional dengan mengundang
Presiden Abdurrahman Wahid untuk datang menghadirinya.
Pada
tanggal 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001
tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.
Pada
saat menghadiri perayaan Imlek 2553 Kongzili, yang diselenggarakan Matakin
dibulan Februari 2002 Masehi, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan mulai
2003, Imlek menjadi Hari Libur Nasional. Pengumuman ini ditindak lanjuti dengan
dikeluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang
Hari Tahun Baru Imlek tertanggal 9 April.
Praktik perayaan
tahun baru Imlek di Indonesia
Tahun
baru Imlek biasanya berlangsung sampai 15 hari. Pada hari raya Imlek, bagi
etnis Tionghoa adalah suatu keharusan untuk melaksanakan pemujaan kepada
leluhur, seperti, dalam upacara kematian, memelihara meja abu atau lingwei
(lembar papan kayu bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang leluhur
pada hari Ceng Beng (hari khusus untuk berziarah dan membersihkan kuburan
leluhur). Oleh sebab itu, pada Hari Raya Imlek anggota keluarga akan
mengunjungi rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei (meja abu) leluhur
untuk bersembahyang. Atau mengunjungi rumah abu tempat penitipan lingwei
leluhur untuk bersembahyang.
Pada
malam tanggal 8 menjelang tanggal 9 pada saat Cu Si (jam 23:00-01:00) Umat
melakukan sembahyang lagi. Sembahyang ini disebut Sembahyang “King Thi Kong”
(Sembahyang Tuhan Yang Maha Esa) dan dilakukan di depan pintu rumah menghadap
langit lepas dengan menggunakan altar yang terbuat dari meja tinggi berikut
sesaji, berupa Sam-Poo (teh, bunga, air jernih), Tee-Liau (teh dan manisan 3
macam), Mi Swa, Ngo Koo (lima macam buah), sepasang Tebu, dan tidak lupa
beberapa peralatan seperti Hio-Lo (tempat dupa), Swan-Loo (tempat dupa
ratus/bubuk), Bun-Loo (tempat menyempurnakan surat doa) dan Lilin Besar.
Pada
hari Cap Go Meh, tanggal 15 Imlek saat bulan purnama, Umat melakukan sembahyang
penutupan tahun baru pada saat antara Shien Si (jam 15:00-17:00) dan Cu Si (jam
23:00-01:00). Upacara sembahyang dengan menggunakan Thiam hio atau upacara
besar ini disebut Sembahyang Gwan Siau (Yuanxiaojie). Sembahyang kepada Tuhan
adalah wajib dilakukan, tidak saja pada hari-hari besar, namun setiap hari pagi
dan malam, tanggal 1 dan 15 Imlek dan hari-hari lainnya.
No comments:
Post a Comment